Amenorrhea
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Amenorea
adalah tidak terjadi menstruasi, dan bila selama 3 siklus tidak
menstruasi pada orang yang pernah mengalami menstruasi maka disebut
amenore sekunder, amenore sekunder yang paling sering terjadi pada
perempuan pascamenapause atau pada perempuan hamil dan hal ini bersifat
fisiologis. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui tentang
penyakit-penyakit apa saja yang dapat menimbulkan gejala amenore ini
sehingga seorang dokter tidak salah mendiagnosa.Amenorea dapat menjadi
suatu tanda penyakit tertentu dan bila dibiarkan akan berlanjut menjadi
infertilitas. Maka, pada tinjauan pustaka akandipaparkan mengenai
fisiologi menstruasi, amenorea, PCOS, gangguan poros
hipotelamus-hipofisis dan gangguan hipofisis yang dapat menyebabkan
amenorea. Selain itu pada pembahas kemudian akan dijelaskan mengeneai
patofisiologi setiap gejala berdasarkan scenario yang diberikan.
B. SKENARIO
Seorang
wanita 19 tahun belum menikah. Badannya mengalami obesitas. Setahun ini
menstruasinya tidak teratur, rata-rata dua bulan sekali baru mendapat
menstruasi, namun dia tidak merasa terganggu dengan keadaan tersebut.
Saat ini dia datang ke Puskesmas dengan keluhan sudah 4 bulan ini
menstruasinya tidak datang. Di Puskesmas dilakukan pemeriksaan PP tes
hasilnya negative. Kemudian dokter puskesmas menyarankan penderita ke
RSUD Dr. Moewardi untuk menjalani beberapa pemeriksaan lebih lanjut.
C. RUMUSAN MASALAH
- Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi siklus menstruasi?
- Apakah yang dimaksud dengan amenorea?
- Mengapa amneorea dapat terjadi?
- Apa hubungan antara amenorea dengan berat badan?
- Apa sajakah diagnosis banding untuk pasien dalam skenario?
- Bagaimanakah hubungan obesitas dengan gangguan haid berupa amenorea? Mengapa bisa terjadi?
D. TUJUAN PEMBELAJARAN dan MANFAAT
1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi alat-alat sistem reproduksi perempuan.
2. Mahasiswa
mampu menjelaskan abortus spontan ditinjau dari segi etiologi, faktor
risiko, patogenesis, patofisiologi, patologi, dan komplikasi yang dapat
ditimbulkan.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan simptom dan gejala abortus spontan.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakkan diagnosis yang dibutuhkan untuk menegakkan abortus spontan serta interpretasinya.
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami penatalaksanaan yang perlu diberikan kepada pasien abortus spontan serta prognosisnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI MENSTRUASI
Fungsi-fungsi
sistem reproduksi perempuan berlangsung melalui interaksi hormonal yang
kompleks, dan bertujuan untuk menghasilkan ovum yang matang menurut
siklus dan mempersiapkan serta memelihara lingkungan bagi konsepsi dan
gestasi. Perubahan hormonal siklik mengawali dan mengatur fungsi ovarium
dan perubahan endometrium. Pusat pengendalian hormon dari sistem
reproduksi adalah hipotalamus. Dua hormon hipotalamus gonadotropic-releasing hormone (GnRH), yaitu follicle-stimuting hormone-releasing hormone (FSHRH) dan luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH). Kedua hormon FSHRH dan LHRH, masing-masing merangsang hipofisis anterior untuk menyekresi follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone
(LH). Rangkaian peristiwa akan diawali oleh sekresi FSH dan LH yang
menyebabkan produksi estrogen dan progesteron dari ovarium dengan akibat
perubahan fisiologik pada uterus. Estrogen dan progesteron, pada
gilirannya juga memengaruhi produksi GnRH spesifik, sebagai mekanisme
umpan balik yang mengatur kadar hormon gonadotropik (Hillegas, 2005).
Umumnya,
jarak siklus menstruasi normal berkisar dari 15 sampai 45 hari, dengan
rata-rata 28 hari. lamanya berbeda-beda antara 2-8 hari, dengan
rata-rata 4-6 hari. darah menstruasi tidak membeku. Jumlah kehilangan
darah tiap siklus berkisar dari 60-80 ml. Terdapat dua siklus yang
saling tumpang tindih, yaitu siklus ovarium dan siklus endometrium.
Siklus ovarium terdiri dari fase folikuler, yaitu fase saat folikel
tumbuh dan mensekresi estrogen dalam jumlah yang semakin lama semakin
meningkat; ovulasi; dan fase luteal, yaitu fase saat korpus luteum
mensekresi estrogen dan progesteron. Lama fase folikuler bervariasi;
fase luteal umumnya berlangsung 13 sampai 15 hari. Siklus menstruasi
terdiri atas fase aliran menstruasi, fase proliferasi, dan fase sekresi.
Menstruasi, peluruhan endometrium, terjadi selama fase aliran
menstruasi. Hari pertama fase aliran menandai hari 1 siklus
menstruasi. Selama fase proliferasi, estrogen dari folikel yang sedang
tumbuh merangsang endometrium untuk menebal dan mempunyai pembuluh darah
yang semakin banyak. Selama fase sekresi, endometrium terus menebal,
arterinya membesar, dan kelenjar endometrium tumbuh. Perubahan
endometrium ini memerlukan estrogen dan progesteron, yang disekresi oleh
korpus luteum setelah ovulasi. Dengan demikian, fase sekresi siklus
menstruasi sejajar (bersamaan) dengan fase luteal siklus ovarium.
Disintegrasi korpus luteum pada akhir fase luteal mengurangi jumlah
estrogen dan progesteron yang tersedia bagi endometrium, sehingga
endometrium meluruh. Apabila terjadi kehamilan, beberapa mekanisme
tambahan mempertahankan kadar estrogen dan progesteron yang tinggi,
sehingga endometrium tidak luruh (Hillegas, 2005; Campbell, et al., 2004).
AMENOREA
Amenorea
ialah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan
berturut-turut. Lazim diadakan pembagian antara amenorea primer dan
amenorea sekunder. Seorang wanita dikatakan amenorea primer apabila
wanita berumur 18 tahun ke atas tidak pernah mengalami haid, sedangkan
pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid tetapi kemudian
tidak lagi. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih
berat dan lebih sulit untuk diketahui sperti kelainan congenital dan
kelainan genetik. Di sisi lain, amenorea sekunder lebih menunjuk pada
sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita seperti gangguan
gizi, gangguan metabolism, tumor, penyakit infeksi dan penyebab
lainnya. (Wiknjosastro, 2005)
Penyebab
amenorea dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium,
uterus dan vagina. Kasus-kasus yang harus dikirim ke dokter ahli adalah
adanya tanda-tanda maskulinisasi, adanya galaktorea, cacat bawaan, uji
esterogen dan progesterone yang negatif, adanya penyakit lain (sperti
tuberkulosis, penyakit hati, diabetes mellitus, kanker), infertilitas
atau stress berat. Anamnesis yang perlu dicari adalah usia menars,
pertumbuhan badan, adanya stress berat, penyakit berat, penggunaan obat
penenang, peningkatan berat atau penurunan berat badan yang mencolok.
Pemeriksaan ginekologik yang dilakukan adalah pemeriksaan genitalia
interna/ eksterna. Pemeriksaan penunjang berupa uji kehamilan dan uji
progesterone. (Mansjoer, 2005)
PCOS (Polycystic Ovary Syndrome)
PCOS
adalah suatu sindrom dimana terjadi pembesaran ovarium (1,5 sampai 3
kali lebih besar dari ovarium normal) dan terdapatnya kantong-kantong
berisi cairan atau kista. PCOS dapat berpengaruh pada sikulus terhadapa
siklus menstruasi, fertilitas, hormone, produksi insulin, jantung,
pembuluh darah dan gambarannya. PCOS merupakan bentuk dari
hiperandrogenisme yang terjadi karena ketidak seimbangan hormonal
ovarium dimana terjadi produksi yang berlebihan dari androgen sehingga
dapat menebabkan hirsuitisme dan dapat disertai dengan ovulasi yang
tidak teratur atau anovulasi dan infertilitas. (Lange,1997; Heffner,
2006)
Etiologi
dari PCOS sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti tetapi dipercaya
kuat ada kaitannya dengan resistensi insulin, suatu kondisi yang mana
sel-sel tubuh menjadi kurang sensitive terhadap hormone insulin sehingga
kerja insulin yang bertanggungjawab dalam menatur control kadar gula
darah dalam tubuh manusia menjadi abnormal. (Lange,1997; Heffner, 2006)
Manifestasi
klinis yang dapat dijumpai pada penderita PCOS adalah berupa
hirsutisme, obesitas, acne, oligo atau amenore, perdarahan uterus,
disfungsi dan infertilitas. Masalah terbanyak yang ditemukan adalah
infertilitas. Untuk criteria laboratories yang perlu diperhatikan adalah
hasil pemeriksaan kadar hormone reproduksi dan insulin. Selain itu
hasil pemeriksaan laparoskopi akan memberikan inspeksi langsung ovarium
dimana akan ditemukan keadaan pembesaran dan polikistik namun terkadang
hal ini dapat terlihat normal pada gambaran laparoskopi. Diagnosis PCOS
dibuat ketika terdapat 2 dari 3 kriteria Oligo atau anovulasi,
hiperandrogenisme (acne, pertumbuhan rambut berlebihan, acne,
peningkatan LH dan indeks androgen) serta morfologi ovarium polikistik
pada pemeriksaan USG dimana gambaran ini pada satuovarium saja sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis. (Lange,1997; Heffner, 2006)
GANGGUAN POROS HIPOTALAMUS-HIPOFISIS
Gangguan
poros hipotalamus-hipofisis yang akan dipaparkan pada tijauan pustaka
kali ini adalah sindrom amenorea galaktorea serta amenorea hipotalamik.
Pada sindrom amenorea galaktorea ditemukan amenorea dan dari kelenjar
mammae dapat dikeluarkan air seperti air susu. Penyebabnya adalah
gangguan produksi Releasing Factor dengan
akibat menurunnya kadar FSH dan LH dan gangguan produksi factor
penghambat prolaktin dengan akibat peningkatan pengeluaran prolaktin.
Biasanya penderita juga agak gemuk dan dapat ditemukan sesudah
kehamilan. (Wiknjosastro, 2005)
Pada amenorea hipotalamik fungsi yang terganggu adalah pada fungsi cyclic centre yang bertanggungjawab terhadap peningkatan hormon gonadotropin khususnya LH dan menyebabkan ovulasi. Pada keadaan ini hanya tonic centre
yang berfungsi dimana tugasnya adalah mengatur produksi FSH dan LH
sehari-hari. Sehingga hormon-hormon gonadotropin dibentuk, tetapi tidak
cukup untuk menimbulkan ovulasi karena tidak ada lonjakan LH. Diagnosis
dibuat atas dasar keadaan umum yang baik, khususny tidak ada
penyakit-penyakit endokrin atau gejala-gejala yang menunjukkan adanya
tumor hipofisis. (Wiknjosastro, 2005)
TUMOR HIPOFISIS
Diantara
sebab-sebab amenorea tumor hipofisis merupakan sebab yang jarang
dijumpai, sebaliknua pada penderita dengan tumor hipofisis adanya
amenorea merupakan gejala yang sering terdapat. Gejala-gejala adalah
sakit kepala dan gangguan penglihatan visus perifer. Biasanya tumor
sudah lama ada sebelum gejala-gejala timbul. Kecurigaan adanya tumor
hipofisis timbul apabila seorang wanita dengan amenorea mengeluh tentang
sakit kepala dan gangguan penglihatan. Foto rontgen dari sella tursika
dan pembatasan visus perifer akan memperkuat diagnosis. (Wiknjosastro,
2005)
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang
wanita berumur 19 tahun dengan obesitas datang dengan keluhan tidak
menstruasi selama 4 bulan sebelumnya setahun terakhir menstruasinya
tidak teratur rata-rata 2 bulan sekali. Dari gejala yang didapat pada wanita ini mengalami amenore sekunder, karena tidak terdapatnya tiga siklus menstruasi atau tidak adanya perdarahan menstruasi selama 3 bulan, selanjutnya hal
yang pertama harus dilakukan ketika seorang wanita datang dengan
keluhan amenore adalah memastikan bahwa wanita tersebut hamil atau tidak
dan dalam pemeriksaan telah jelas bahwa pemeriksaan PP negative yang
berarti wanita tersebut tidak hamil, setelah itu dokter harus menduga
bahwa telah terjadi sutau gangguan yang menyebabkan amenore yaitu bisa
gangguan pada ovarium, uterus, ataupun pada hipofisis dan hipotalamus.
Penyebab
amenore terbanyak yaitu sekitar 50% kasus adalah akibat PCOs
(policystic ovary syndrome) yang terjadi akibat obesitas dan kelainan
reseptor pada insulin kedua hal di atas di duga sebagai penyebab kuat
terjadinya PCOs seperti yang telah dijelaskan di atas kedua hal tersebut
menyebabkan hirsutisme, obesitas dan amenore. Sehingga hal ini juga
dapat dijadikan diagnosis pada kasus tersebut, diagnosis lainnya adalah
hipertiroidisme karena gangguan pada hormone tiroid dapat menyebabkan
penurunan androgen clearance sehingga menyebabkan androgen dalam tubuh
meningkat dan menyebabkan gangguan pada menstruasi.
Manifestasi
klinis yang dirasakan pasien kemungkianan dapat terjadi akibat
penurunan aktifitas dopamine, sehingga sekresi GnRH meningkat, di ikuti
peningkatan LH (karena terjadi pada kadar
estrogen tinggi). Peningkatan LH dapat juga disebabkan karean gangguan
sistem leptin. Leptin adalah suatu protein yang disekresi oleh
adipocite, dan berperan pengaturan masukkan makanan, member sinyal lapar
pada otak sehingga afsu makan akan meningkat. Selain itu di hipotalamus
leptin menekan sintesis dan sekresi neuropeptida Y, yang bekerja
menghambat GnRH. Pada orang gemuk terjadi peningkatan leptin (pada orang
gemuk terjadi resisten leptin) sehingga terjadi penurunan sekresi
neuropeptida Y, yang berakibat peningkatan sekresi GnRH dan di ikuti
penigkatan LH.
Disamping
itu, kemungkinana adanya hiperinsulin juga dapat mengakibatkan
aktivitas androgen meningkat dan ini akan mempengaruhi kerja insulin
yang akan berikatan berikatan dengan reseptor IGF-I , bersama dengan LH
merangsang sel teka produksi androgen. Selain itu juga akan menekan
sintesis SHBG dan IGF-BP I sehinga hormone seks steroid dan IGF
meningkat dalam darah.
Peningkatan
hormone tiroid atau hipertiroidisme juga mengakibatkan penghambatan
pada dopamine yang merupakan penghambat pada hipotalamus sehingga
menyebabkan sekresi TRH meningkat dan merangsang sekresi prolaktine
sehingga terjadi hiperprolaktenemia. Hiperprolaktenemia juga menyebabkan
GnRH terhambat sehingga FSH dan LH tidak terstimulus dan menyebakan
ovarium tidak berkembang sehingga menyebabkan amenore. Semua hal
tersebut adalah penyebab amenore yang merusak kerja hipotalamus,
sedangkan gangguan pada endometrium dapat disebabkan karena syndrome
asherman, yaitu rusaknya endometrium akibat mekanis salah satunya akibat
efek dari kuretase yang menyebabkan endometrium menjadi rusak dan
terbentuk jaringan parut sehingga pertumbuhan endometrium tidak terjadi
dan tidak terdapat peluruhan ketika menstruasi.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan tambahan seperti
USG untuk mengetahui apakah terdapat gambaran polycystic pada ovarium ,
dan juga di lakukan hormonal fungsional tes dengan cara pemberian
estrogen dan progesterone bila tidak terjadi perdarahan berarti terjadi
kerusakan di bagian endometrium, tetapi bila terjadi perdarahan berarti
terdapat gangguan pada tingakat hipofisis , hipotalamus . selain itu
juga perlu pengukuran kadar t4 dan t3 untuk
mengetahui apakah terdapat gangguan pada hormone tiroid. Bila gangguan
yang terjadi akibat gangguan pada siklus hormonal maka kemungkinan
prognosis baik menstruasi dapat kembali seperti semula.
Amenorea
sendiri tidak selalu memerlukan terapi, namun penderita-penderita yang
mengeluh tentang infertilitas dan merasa terganggu dengan tidak
datangnya haid merupakan kateogri yang memerlukan terapi. Dalam langkah
terapi umum, dapat dilakukan tindakan memeprbaiki keadaan kesehatan
termasuk perbaikan gizi, kehidupan yang sehat dan lingkungan yang
tenang. Pada pasien dalam scenario ini, dalam upaya perbaikan keadaan
kesehatan, makan perlu dilakukan koreksi profil lipid, pengurangan berat
badan dengan melihat adanya kondisi obesitas pada pasien. Karena
pengurangan berat badan pada obesitas tidak jarang memiliki pengaruh
baik terhadap amenorea dan oligomenorea.
Sebagai
upaya untuk menimbulkan perdarahan secara siklis, maka pemberian
eseterogen bersama dengan progesterone dapat dilakukan, namun perdarahan
ini hanya bersifat withdrawal bleeding, dan bukan haid
yang didahului ovulasi. Terapi ini ada maknanya pada hipoplasia uteri
dan kadang-kadang dapat menimbulkan mekanisme siklus haid lagi pada
gangguan yang ringan. Sedangkan untuk pengobatan infertilitas yang
kemungkinan dapat terjadi kemudian masih memerlukan cara lainnya yaitu
dengan mempengaruhi kerja hormone. Namun sebelum terapi hormone
diberikan sebagai upaya terapi infertilitas, pemeriksaan penunjuang
khususnya kadar hormone dalam tubuh sangat diperlukan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Diagnosis
kerja untuk pasien ini belum dapat ditegakkan hanya berdasarkan
data-data dalam skenario saja, masih diperlukan hasil pemeriksaan
penunjang lainnya. Sementara menunggu hasil pemeriksaan penunjang, yang
dapat dilakukan adalah dengan memeprbaiki profil lipid, mengorekso berat
badan pasien dan memberikan terapi medikamentosa untuk membuat agar
menstruasi pasien kembali terjadi. Pengobatan yang dapat diberikan
berupa pil KB seperti Diane untuk mengatur haid, metformin dan dapat
ditambahkan obat penyubur jika ingin hamil.
B. SARAN
· Sebaiknya pemeriksaan penunjang yang dilakukiagnosian adalah mengukur kadar t4 dan t3.
· Sebaiknya wanita tersebut menurunkan obesitasnya karena obesitas merupakan salah satu penyebab amenore.
· Pemeriksaan penunjang yang lain yang diperlukan untuk meneggakkan diagnosis PCOs adalah dengan USG.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Neil A., Jane B. Reece, Lawrence G. Mitchell. 2004. BIOLOGI JILID III EDISI KELIMA. Alih bahasa : Wasmen Manalu. Editor : Amalia Safitri. Jakarta : Penerbit Erlangga
Heffner,LJ.2006. At a Glance SISTEM REPRODUKSI edisi kedua. Jakarta: Erlangga.
Hillegas, Kathleen B. 2005. Gangguan Sistem Reproduksi Perempuan. Dalam PATOFISIOLOGI : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta : EGC
Lange JD.2007. Phatofisiology of diseases. San Fransisco: Appelton & Lange.
Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2005. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN EDISI III JILID I. Editor : Arif Mansjoer, dkk. Jakarta : Media Aesculapius
Raden, A., Eriana Melinawati, Wisnu Prabowo. 2009. BUKU MANUAL PEMERIKSAAN OBSTETRI DAN PIMPINAN PERSALINAN NORMAL EDISI I. Surakarta : Skills Laboratory Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. ILMU KANDUNGAN. Jakarta : YBP-SP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar